Matahari berjalan pelan dari timur menuju barat, sama seperti
kemarin, namun tak sedikit hal yang beda dari masa laluku. Panasnya
terik mentari, pekatnya udara, begitu pun benda yang sering ku genggam
ini seakan mengalihkan semua mimpi mudaku.
Di hadapan gedung-gedung megah di pelataran kota, pinggir jalan.
Hampir setiap hari seorang kakek tua menjajakan keterampilannya,
berharap ada sepatu atau sandal robek minta di perbaiki. Hanya
bermodalkan Jarum Sol dan gulungan benang di berangkas kayu khas
Tukang Sol Sepatu.
“Aki…Gimana sepatu saya sudah selesai?”. Aki, atau lebih lengkapnya
Aki Ucup, begitulah kebanyakan orang memanggilnya. “Oh iya sudah selesai
nak”. Anak muda itu pun seketika berlalu, di ratapinya Uang pemberian
anak muda tadi seusai mengucap syukur alhamdulillah, Sorot matanya pun
kembali pada gerak lalu lalang orang berjalan, dagu sedikit mendongak ke
atas, ia bangga, bahagia. Kembali matanya dalam sudut pandang merata,
jauh di seberang sana terlihat dua bocah kecil bertubuh dekil asik naik
turun bus kota dengan sepucuk kicrik-kicrik dari tutup botol di
tangannya. Bhatin Ki Ucup pun menangis, Jelas kicrik itu bukan mainan,
tapi sama halnya dengan Jarum Sol ini. Matanya meneteskan air, Sungguh
Gedung itu berdiri di atas penderitaan.
Dengan mata berkaca, Aki Ucup menatap kemegahan dan kemewahan apa
yang ada sekitarnya, Kendaraan yang semakin padat merayap, Gedung yang
semakin tinggi menjulang membawanya pergi teringat pada cita-cita
mudanya yang sangat tinggi, bahkan lebih tinggi dari gedung itu. Yaitu “Indonesia Merdeka”.
72 tahun sebelumnya.
“Lapor komandan, satu pesawat jepang bergerak menuju kita..”. Ucap salah satu prajurit pada komandan Ucup di dalam kereta api.
Dengan perasaan cemas, begitu pun seluruh penumpang di dalamnya.
komandan Ucup pun memberikan intruksi strategi pada ke 4 bawahannya, ia
pun bergerak ke depan tanpa rasa takut demi ratusan nyawa di dalam
kereta. Dalam selang waktu terjadi baku tembak antara prajurit jepang
dan indonesia, tak sedikit rakyat tak berdosa kehilangan nyawa.
Beruntung tuhan masih memberikan pertolongan setelah kereta tepat
berhenti di dalam terowongan untuk berlindung.
“Merdeka…Merdeka…Merdeka”. Itulah selogan yang sering terucap
Komandan Ucup tiap kali bertemu teman maupun rakyat sebangsa. Kata
“Merdeka” jelas sudah menjadi barang yang paling mahal dan cita-cita
semua penduduk rakyat indonesia kala itu. Hidup damai penuh kebebasan
tanpa ada yang menindas atau pun di tindas, sesuka hati menggali benih
dari kayanya alam tanah air.
Hampir semua manusia dewasa merasakan jatuh cinta pada kekasih,
begitu pula dengan Komandan Ucup. Seorang Gadis desa dekat kemah
pemukiman para gerilya mampu memikat hatinya. Mereka saling mencinta,
akan tetapi cintanya terhalang oleh perjuangan, Selain Orang tua si
Gadis sangat tidak setuju puterinya menjalin hubungan dengan seorang
gerilyawan, Komandan Ucup pun tak ingin tekadnya untuk memperjuangkan
kemerdekaan harus pudar hanya karena cinta.
Hari terus berlalu, indonesia masih dalam kekuasaan jepang. Malam ini
Komandan Ucup beserta para pejuang lainnya mengadakan rapat dalam suatu
kemah di tempat terpencil. Entah siapa yang telah menjadi penghianat,
membocorkan tujuan dan keberadaan mereka. Sekelompok prajurit jepang
tiba-tiba mengepung kemah, beruntung beberapa dari pejuang termasuk
komandan Ucup berhasil meloloskan diri dari kepungan. Hanya saja, Kaki
Ucup kini sulit berjalan normal seperti biasa, tembusnya peluru panas di
betis kaki Komandan Ucup hingga memburuk karena terlambat mendapatkan
perawatan, membuat salah satu kakinya harus di Amputasi.
Kini Komandan Ucup hanya bisa duduk diam di bale-bale rumahnya,
semangat yang masih berkobar ini terpaksa harus sirna. Hanya do’a yang
bisa ia bantu untuk Tanah airnya.
17 Agustus 1945, Amerika menghancurkan kota Hirosima dan Nagasika di
jepang. Jepang mengalami krisis kepemimpinan dan jepang menarik semua
prajuritnya dari indonesia, Presiden soekarna pun langsung mendeklarasin
Teks kemerdekaan indonesia.
“Merdeka..Merdeka..Merdeka..”
Merah putih berkibar di seluruh indonesia, semua rakyat indonesia
bergembira. Komandan Ucup pun menangis penuh bahagia diatas tongkatnya.
“Terima kasih ya tuhan..Merdeka..Merdeka..” Ucap Komandan Ucup, menuju
keluar merayakan kemerdekaan.
Hari ke hari Komandan Ucup melaluinya sendiri. Tanpa istri apalagi
anak seperti teman sebayanya. mungkin kekurangan fisik membuatnya harus
sendiri hingga hari ini. Hari yang penuh pertanyaan “Apakah indonesia sudah merdeka!”